Back to Batavia: Menyusuri Masa Lalu Ibukota (part 2)

Pada bagian sebelumnya, sudah dibahas asal mula Stadhuis dan apa-apa saja yang ada di dalam Museum Sejarah Jakarta. Seperti koleksi furniture peninggalan Dewan Hindia, lukisan J.J. de Nijs, Pedang Keadilan, dan lain sebagainya.

Di bagian ini, kita akan membahas soal penjara di halaman belakang Stadhuis, Gereja Kubah (Nieuw Hollandsche Kerk), dan Toko Merah.


HALAMAN BELAKANG STADHUIS

Stadhuis (Museum Sejarah Jakarta) memiliki penjara di halaman belakangnya. Cut Nyak Dien, Untung Suropati, dan Pangeran Diponegoro pernah mendekam di penjara Stadhuis. Penjara ini terbagi menjadi dua, yakni penjara wanita dan penjara laki-laki. Pertama, mari kita lihat penjara wanita terlebih dahulu.

Penjara wanita berada di dalam sebuah bangunan yang memiliki 8 jendela di bagian atas, 6 jendela di bagian tengah, dan masing-masing dua jendela di kedua sisi pintu. Seluruh jendela, dipasangi sebuah pagar besi. Di depan bangunan, ada sebuah lapangan kecil. 

Bangunan Penjara Wanita (Source: www.jakarta100bars.com)

Penjara ini letaknya tersembunyi di pojok kiri bangunan. Untuk menuju ke penjara, kita perlu menuruni tangga-tangga kecil. Bau tidak sedap sudah tercium dari atas tangga. Saya menahan bau yang luar biasa tidak enak dan menuruni tangga (atas dasar penasaran). Ketika sampai di bawah,  saya bisa melihat ruangan dalam penjara dengan jelas. Penjara ini berada di bawah tanah dan tergenang oleh air, tidak ada pencahayaan sama sekali jika tidak ada jendela dan pintu bangunan tertutup. Saya bahkan tidak percaya bahwa ruangan ini dulunya dipakai sebagai penjara untuk wanita.

Tangga menuju ruang penjara

Ruang penjara yang gelap dan tergenang air

Saya tidak berani untuk pergi lebih dalam.


Sekarang, mari kita beranjak ke penjara khusus laki-laki yang sering dianggap sebagai salah satu penjara terkejam pada masa itu. Saya hendak membuktikan anggapan tersebut.



Penjara laki-laki ini berlokasi di belakang jejeran panjang tembok batu yang sekarang ditanami tumbuhan hijau. Penjara laki-laki terdiri atas 5 sel. Saya bergerak memasuki kelima sel tersebut dari yang paling ujung kanan. Penjara yang terletak di ujung lorong, kondisinya tidak begitu parah. Pencahayaan masih masuk dan sirkulasi udara lumayan baik. Cukup untuk memuat 30 orang. Penjara ke-4 lebih gelap, sempit, dan sirkulasi udara lebih buruk jika dibandingkan yang pertama saya masuki. Ketika berada di dalam, saya hampir muntah karena udara yang saya hirup benar-benar tidak enak.

Kondisi penjara ini tak jauh beda dengan kondisi penjara lainnya. Saya dapat membayangkan banyak dari para tahanan yang mati, jauh sebelum perkara mereka diajukan ke meja hijau. Di tempat semacam ini, penyakit tentu dengan mudahnya dapat ditularkan. Disentri, kolera, dan tifus sudah jadi wabah yang 'biasa' di Batavia. Mengingat fakta bahwa ada lebih dari 300 tahanan yang dipenjara di tempat ini, menjadikan penjara ini sebagai salah satu penjara terkejam yang pernah saya kunjungi. 







Selanjutnya, mari kita bergeser ke halaman museum.
Kondisi halaman belakang Stadhuis cukup rimbun, di sebelah utara halaman terdapat 2 bangunan yang kini difungsikan sebagai kantor. Di selatan halaman, berdiri sebuah patung Hermes, seorang dewa Yunani, yang juga dianggap sebagai dewa "perdagangan". Patung Hermes ini dulunya berasal dari atas jembatan Kali Ciliwung di daerah Harmoni. Namun sayangnya, patung ini dirusak pada tahun 1999 dan dibawa ke Museum Sejarah Jakarta untuk diperbaiki. Patung yang sekarang, merupakan replikanya. 

Patung Hermes (Source: ilmuhumaniora.blogspot.co.id)

Di halaman ini terdapat pula sebuah sumur yang merupakan sumber air minum untuk para tawanan yang mendekam di penjara Stadhuis. Sumur tidak digunakan lagi karena air yang sudah tercemar.

Sumur (Source: travel.kompas.com)

Dekat pintu keluar, ada sebuah batu peringatan yang diatasnya terdapat tulisan berbahasa Belanda dan aksara jawa kuno. Batu ini digunakan untuk mengingat sang 'pengkhianat', Pieter Erberveld. Batu peringatan ini dulunya merupakan sebuah monumen yang di atasnya terdapat sebuah tengkorak yang terbuat dari gips. Monumen ini terletak di Jl. Pangeran Jayakarta, tempat tinggal Pieter Erberveld pada awal abad ke-18. Tetapi, Monumen Pieter Erberveld tersebut dihancurkan pada masa pendudukan Jepang (1942). Batu asli yang tersisa kini, ditempatkan di halaman belakang Museum. Batu tersebut sekarang lebih dikenal dengan nama 'Monumen Pecah Kulit'.

Batu Peringatan Pieter Erberveld

Siapakah Pieter Erberveld?

Pieter Erberveld adalah seorang yang cukup berpendidikan. Ia juga merupakan putra dari seorang Jerman kaya. Pieter termasuk kelompok besar orang 'Indo', yaitu keturunan Indo(nesia)-Eropa. Pieter juga merupakan sosok yang bersahabat dengan masyarakat setempat di sekitar Batavia. 

Lalu, apa yang dilakukan oleh Pieter Erverveld sampai-sampai ia dibuatkan sebuah batu peringatan?

Jadi, sebuah laporan resmi VOC mengatakan, bahwa Pieter Erverveld bersama Raden Kartadria, seorang Sunda, berencana untuk membunuh semua penduduk Belanda di Batavia pada saat perayaan tahun baru 1722 atau pada perayaan Imlek. Katanya, Pieter Erverveld ingin menjadi seorang tuan goesti (kepala kota Batavia). Sedangkan, Raden Kartadria hendak menjadi patih daerah luar-kota. Rencana mereka dibeberkan kepada gubernur-jenderal oleh seorang budak-belian yang diperlakukan sewenang-wenang. Ada pula yang mengatakan, bahwa sultan dari Banten, yang diminta bantuan oleh Erberveld untuk mendukung rencana tersebut, memberitahu gubernur-jenderal. Karena, sultan cemas akan pengaruh Erberveld dan Raden Kartadria dalam wilayah kekuasaannya. 


Berikut arti nya:

Sebuah kenangan yang menjijikan dari pengkhianat Pieter Erverveld yang dihukum. Tak seorang pun sekarang atau untuk seterusnya akan diizinkan membangun, menukang, memasang batu-bata atau menanam di tempat ini. 
Batavia, 14 April 1722. 


Pada tahun 1722, tepatnya pada tanggal 22 April, hukuman mati terhadap Erberveld dilaksanakan. Erberveld dan Raden Kartadria, bersama tujuh orang Indonesia (tiga di antaranya wanita) di bunuh secara sadis di lapangan sebelah kanan benteng Batavia. Tubuh mereka semua dicincang dan jantung dicopot, kemudian badan ditarik ke empat penjuru dengan empat kuda sampai pecah menjadi empat bagian. Hukuman mati ini tidak dilaksanakan di halaman depan Stadhuis karena alasan keamanan. 

Namun, ada satu kejanggalan yang tersimpan pada batu peringatan Pieter Erberveld. Pada batu peringatan tersebut tertulis, bahwa didirikan di Batavia pada tanggal 14 April 1722. Tetapi, Erberveld baru dibunuh pada tanggal 22 April. Artinya, batu peringatan ini didirikan delapan hari sebelum Erberveld dihukum mati! Sangat mustahil ada sebuah peringatan akan suatu peristiwa yang belum terjadi. Banyak posibilitas yang mungkin terjadi, namun tak seorang pun yang tahu pasti. 

Hingga sekarang, sebuah jalan serta kampung di sekitar bekas monumen tersebut, masih disebut Kampung Pecah Kulit. Banyak sumber yang mengatakan bahwa nama 'Pecah Kulit', berasal dari peristiwa yang terjadi pada tanggan 22 April tersebut. Tetapi, ada sebagian sumber yang mengatakan kalau nama 'Pecah Kulit' berasal dari pekerjaan ayah Erberveld yang bekerja sebagai penyamak kulit. 

Peristiwa Erberveld ini tidak bisa dilepaskan dari peran seorang gubernur-jenderal yang bernama Zwaardecroon. Pendahulu Zwaardecroon menghalang-halangi Erberveld untuk memperoleh semua tanah, yang ia anggap sebagai warisan dari ayahnya. Maka gubernur-jenderal Zwaardecron dirasa berkepentingan untuk menyingkirkan Erberveld. Memang, pada akhirnya Erberveld dan semua pengikutnya mengakui persekongkolan mereka, tetapi hanya setelah mereka disiksa dengan lama dan keji di suatu kamar khusus di Balaikota. Pengakuan masing-masing dari mereka juga kabur, dan simpang-siur. 

Monumen Pieter Erberveld ini merupakan salah satu dari dua 'missing diamond' yang saya cari-cari. Kasus Pieter Erberveld sampai kini masih menjadi misteri walau sosoknya sendiri telah lama dihukum mati. 



GEREJA KUBAH–NIEUW HOLLANDSE KERK
(MUSEUM WAYANG)


Oude Hollandse Kerk (Kruiskerk/Gereja Belanda Lama)
Museum Wayang, yang berada di dekat Museum Sejarah Jakarta berdiri di atas tanah, bekas Gereja Kubah. Sebelum Gereja Kubah dibangun, di tanah yang sama juga berdiri sebuah gereja yang diberi nama Kruiskerk, sebab denah dasarnya membentuk salib. Usia Kruiskerk tidak sampai seratus tahun. karena terpaksa dibongkar ketika sebuah organ besar yang didatangkan dari Belanda, tidak dapat dipasang didalamnya.


Niuwe Hollandse Kerk (Gereja Kubah/Gereja Belanda Baru)
Gereja Belanda Baru (1736) memiliki tinggi empat puluh meter, dan pernah dinobatkan sebagai gedung tertinggi di Batavia, sama seperti Katedral waktu dibangun pada tahun 1901. Miniatur kayu gereja ini disimpan dalam Museum Sejarah Jakarta, sebagaimana disebutkan dalam blog sebelumnya.

Tiga tahun setelah selesai dibangung, terjadi sebuah gempa bumi yang menyebabkan salah satu sisi tembok gereja retak. Pada tahun 1808, gereja bersegi delapan itu dijual atas perintah Daendels supaya dibongkar. Walau para jemaat rela membiayai perbaikan gereja, perintah Daendels tetap dilaksanakan. Mereka, para marsekal, tidak memperdulikan makam beberapa pejabat VOC di dalam maupun sekeliling gereja. Maka letak makam-makam tertentu tidak dapat dipastikan lagi letaknya, termasuk makam J.P. Coen (1634). 

Ternyata, sedari dulu, orang Batavia dan Jakarta kurang menghormati masa lalu nya. Seperti yang dikatakan A. Heuken dalam buku Historical Sites of Jakarta: "Tanah untuk mencari uang, bukan untuk istirahat terakhir."


Museum Wayang (Source: www.travelerien.com)

Museum Wayang yang dibangun pada tahun 1912 di atas tanah bekas gereja kubah, kini digunakan sebagai museum yang didalamnya terdapat bermacam-macam koleksi wayang dari seluruh penjuru nusantara bahkan mancanegara. 

Museum Wayang

Dalam Museum Wayang dapat ditemukan beberapa peninggalan sejarah Jakarta. Di tengah-tengah Museum kita temukan sebuah 'taman kehormatan' yang tenang. 'Taman Kehormatan' atau Erehof mengenangkan pejabat-pejabat tinggi serta beberapa keluarga mereka yang pernah dikuburkan disini.

Source: Wikipedia
 Pada sebuah dinding abu, tertulis:
Op deze plaats stond van 1640 tot 1732 de Oude Hollandsche Kerk of Kruiskerk en van 1736 tot 1808 de Niuwe Hollandsche Kerk. In die kerken en op het terrein daaromheen – het Hollandsche kerkhof – vonden hun laatste rustplaats de stichter van Batavia Jan Pieterszoon Coen in 1634, en de 18 hier nevens genoemde Gouverneurs Generaal zoomede van hooge compagnies dienaren en vele van hun echtgenooten en familieleden.


Di tempat ini, berdiri Gereja Belanda Lama dari 1640–1732 dan Gereja Belanda Baru dari 1736–1808. Pada gereja dan halaman sekitarnya – 'Pemakaman Belanda' – Pendiri kota Batavia, Jan Pieterszoon-Coen, pada tahun 1634, mendapatkan tempat peristirahatan terakhir. Seperti juga 18 gubernur-jendral dan beberapa pejabat tinggi kumpeni bersama banyak istri serta anggota keluarga mereka. 


Makam J.P. Coen ini merupakan the 'missing diamond' yang paling saya cari. Sampai sekarang informasi mengenai keberadaan makam J.P. Coen masih simpang-siur. Ada yang mengatakan, kalau jasad J.P. Coen sendiri telah dipindahkan ke Taman Prasasti. Banyak pula versi lain yang menjelaskan bahwa jasad J.P. Coen masih terkubur disini dan menjadi satu dengan Museum Wayang. Teori 'pemindahan ke Taman Prasasti' kurang saya percaya. Saya yakin kalau sampai sekarang, jasad tersebut masih berada di tanah Museum Wayang. Perkara letak makam seorang pendiri Batavia, hendaknya tidak dilupakan dan terus dicari kepastiannya.  


Selain J.P. Coen, masih banyak pejabat tinggi tersohor lainnya yang dikuburkan disini. Antara lain: Gubernur-Jenderal Van Imhoff, Gubernur-Jenderal Abraham Patras, Cornelis Caesar, dan masih banyak lagi.

Nisan Van Imhoff

Abraham Patras



Cornelis Caesar











TOKO MERAH



Toko Merah ini terletak di Jl. Kali Besar Barat No. 11, Pinangsia, Jakarta Barat. Dari Museum Sejarah Jakarta, hanya perlu berjalan melewati jembatan lalu menyebrang. Toko Merah ini merupakan satu-satunya bangunan yang berhasil lolos dari zaman kolonial tanpa dirusak sedikit-pun. 



Toko Merah, dulunya merupakan rumah milik seorang Gubernur Jenderal, Gustaaf Willem Baron von Imhoff. Von Imhoff adalah seorang gubernur-jenderal yang paling menonjol pada abad ke-18. Ia lahir di Leer, Jerman pada tahun 1705. Di Batavia, ia membangun sebuah rumah ganda di daerah elite. Rumah indah itu kini satu-satunya rumah golongan atas VOC yang masih dalam keadaan agak lengkap. Von Imhoff pernah ditahan karena dikatakan terlibat dengan aksi pembantaian massal terhadap ratusan orang Tionghoa. Ia sampai dipulangkan ke Belanda supaya diadili oleh Dewan XVII, badan tertinggi VOC (1741). 

Academie de marine


Di Belanda, Van Imhoff dengan mudah membela diri dan menyalahkan Valckenier atas peristiwa tersebut. Von Imhoff akhirnya ditunjuk menjadi Gubernur Jenderal baru, sedangkan Valckenier ditahan di Capetown (Afrika) ketika dalam perjalanan pulang ke Belanda. Di Batavia, ia mendirikan Academie de Marine di rumahnya (1743-1755), agar para perwira kapal niaga Kumpeni dididik dengan lebih baik. 

Sebutan 'Merah' pada Toko Merah rupanya diperoleh dari kusen jendela dan pintu yang dicat merah tua dengan sedikit nuansa emas. Teori lain mengatakan bahwa sebutan 'merah' timbul sejak rumah ini digunakan oleh Toko Oey Liauw Kong (1890). Toko Merah merupakan rumah ganda yang disatukan dan kadang digunakan oleh dua penghuni. Sebagian tembok pemisah dari lantai ke atap dibongkar dan diganti dengan tujuh pilar.



Ketika saya berkunjung, Toko Merah sudah ditutup untuk kunjungan publik. Hanya dibuka untuk pameran, dan acara penting lainnya. Toko Merah ini, juga merupakan saksi bisu atas tragedi yang menewaskan banyak orang Tionghoa di Batavia. Kini usianya sudah 287 tahun. Semoga yang satu ini tidak terlupakan. 




Setiap perjumpaan, pasti ada perpisahan. Begitu pula dengan yang satu ini. Mari, kita sudahi dulu perjalanan menyusuri masa lalu ibukota. Perjalanan masih akan berlanjut, ke pelosok jakarta, ke gang-gang kecil ibukota, yang pasti akan memakan waktu lama. Konten Blog pertama ini, saya dedikasikan sepenuhnya untuk orang-orang diluar sana yang haus akan pengetahuan sejarah. Terutama sejarah ibukota. 

Konten ini, memang tidak dapat menjawab semua pertanyaan yang selama ini kita ajukan mengenai masa lalu kota Jakarta. Saya sendiri, hanya berpegang pada satu referensi, buku Adolf Heuken : Historical Sites of Jakarta. Namun, saya berusaha untuk bisa 'mengairi' dahaga ketidakpastian yang (mungkin) ada pada diri kawan-kawan selama ini. Mohon maaf kalau barangkali, ada data yang kurang lengkap, salah bahasa maupun kata, dan kesalahan- kesalahan lainnya. Jika ada kritik dan saran, dengan senang hati, silahkan tulis di kolom komentar.

Terima kasih atas ketersediaan kawan-kawan untuk membaca konten saya. Sampai jumpa di perjalanan berikutnya! 




Comments

Popular posts from this blog

Back to Batavia : Menyusuri Masa Lalu Ibukota

Back to Batavia : Nisan Berjuta Cerita (Part 2)

Back to Batavia: Nisan Berjuta Cerita (Part 1)