Back to Batavia: Nisan Berjuta Cerita (Part 1)





"Rust in Vrede." Salah satu tulisan yang paling banyak terpahat di atas nisan mereka yang mati 200 atau 300 tahun yang lalu. Sebuah doa dari handai-taulan, sanak-saudara, bagi mereka yang meninggal. Rust in Vrede, yang jika diterjemahkan berarti Rest in Peace, telah menjadi penanda akan hidupnya seorang manusia di suatu masa yang pernah jaya, juga penanda berakhirnya masa yang jaya tersebut. Setelah berjalan-jalan di kota lama Batavia , mari kini kita beranjak pergi ke sebuah Kerkhof  (pekuburan) jauh di luar 'kota', mengingatkan diri, bahwa dunia adalah fana dan hampa pada akhirnya.


MUSEUM TAMAN PRASASTI


Museum yang berada di ruangan terbuka ini, terdengar agak janggal untuk banyak orang. Tidak seperti Museum Nasional yang kemahsyurannya sudah terdengar se-Indonesia bahkan se-Asia Tenggara atau Museum Sejarah Jakarta di Kota Tua yang menarik banyak turis mancanegara karena peninggalan kolonialisme nya yang klasik. Mungkin ada dua faktor mengapa Museum ini tidak begitu dikenal. Pertama, karena letaknya yang tersembunyi di tengah kota, kedua, karena minimnya publikasi oleh media massa. Kurangnya publikasi dari media massa boleh jadi sengaja untuk menjauhkan publik dari lokasi ini supaya ketenangan dan keasriannya tetap terjaga. 


Pintu masuk menuju Museum ini berbentuk bangunan bercat putih dan bergaya Yunani klasik (Doria). Di dalam bangunan, terdapat sebuah meja kecil tempat membeli tiket. Untuk dewasa dikenakan biaya sebesar Rp5.000, untuk mahasiswa sebesar Rp3.000, dan pelajar sebesar Rp2.000. Seperti dalam blog saya sebelumnya, saya menggunakan jasa armada Busway yang cukup efisien dari segi waktu maupun harga. Jika kawan hendak menuju ke Museum Taman Prasasti, ambil bus yang mengarah ke Monas. Sesampainya di Monas, turun dan jalan mengikuti trotoar yang berada di sisi Museum Nasional. Berjalan terus sampai masuk ke Jalan Abdul Muiz, tak jauh dari depan jalan, ada marka jalan menuju Kantor Walikota Jakarta Pusat, ikuti marka tersebut dan, voila! Sampailah kita di tempat tujuan! Ada pula jalan pintas menuju Museum, yakni dengan melewati Jalan kecil disamping Museum Nasional, lalu berbelok ke kanan, jalan terus sampai melihat marka Museum Taman Prasasti. 

Saya rekomendasikan, untuk mengambil jalan mengikuti trotoar. Walau jarak tempuh lebih jauh dan sedikit lebih lama, namun trotoar yang lebar dan nyaman tidak membuat kawan terganggu akan deru klakson kendaraan. Banyaknya pohon rindang di sisi trotoar juga membuat perjalanan lebih menyenangkan. Museum Taman Prasasti terletak tepat disamping Kantor Walikota. (Jalan Tanah Abang I, No. 1), buka tiap hari Selasa-Minggu, dari pukul 09.00 hingga 15.00. 

Museum seluas 1,2 hektar ini dibangun diatas tanah milik seorang kaya-raya di Batavia, Jeremias Van Riemsdijk. Ia seorang juragan tanah yang menguasai banyak lahan di Batavia. Pada tahun 1775, ia diangkat menjadi Gubernur Jendral di Batavia, menggantikan kedudukan Gubernur Jendral Van der Parra yang telah meninggal. Riemsdijk wafat di Batavia pada usia 64 tahun. Nisannya kini berada di bagian belakang halaman Museum.

Nisan Jeremias Van Riemsdijk


Jeremias Van Riemsdijk

Ketika masuk ke dalam bangunan museum, kita akan disambut oleh dua buah kereta pengantar besar masing-masing berwarna hitam. Di tembok halaman museum, tertempel beberapa batu nisan yang diambil dari Hollandsche Kerk (Gereja Lama di Kota Tua), dengan lambang kode HK, diikuti nomor nisannya. Salah satu dari nisan tersebut adalah nisan Jacques de Bollan, dan Pieter van Hoorn. Keduanya adalah orang-orang berpengaruh di Batavia. 


Nisan Pieter Janse van Hoorn

Pieter Janse Van Hoorn adalah bekas seorang pengusaha sukses di Belanda dan mantan anggota Dewan Hindia. Ia merupakan ayah dari Joan Van Hoorn, seorang gubernur-jenderal di Batavia (1704-1709) yang bersikap liberal. Ia juga mertua dari seorang tentara yang gagah nan termahsyur, François Tack (1649-1686), atau yang akrab disebut 'Kapten Tack'. Tack mati dibunuh di Kraton Kartasura atas perintah Amangkurat II karena telah menghina Amangkurat dengan menawarkan 'Mahkota Mas Majapahit' saat memasuki Kediri tahun 1678 dengan harga 1.000 real (uang perak Spanyol). 

Lukisan Terbunuhnya Kapten Tack di Kartasura karya Tirto (Grisek)

Kemudian, dapat kita temui nisan Jacques de Bollan tak jauh dari nisan milik Pieter Van Hoorn.


Jacques de Bollan adalah seorang Belgia yang mendirikan beberapa gedung besar antara tahun 1663-1669 di daerah utara Jakarta. Salah satu bangunan Bollan adalah gudang yang kini menjadi Museum Bahari di Pasar Ikan. 



Kerkhof at Tanah Abang (J.C. Rappard)

Melewati bangunan museum, kita mulai memasuki halaman museum yang berisi banyak nisan dengan patung-patung yang 'puitis'. Di sebelah kiri pintu masuk, dapat kita temui dua peti jenazah milik kedua bapak proklamator, Soekarno dan Hatta. Peti ini merupakan peti asli yang kini diletakkan dalam sebuah kotak kaca transparan. Soekarno dimakamkan di Blitar, sedangkan Hatta dimakamkan di pekuburan Karet Tengsin, karena ingin 'dikelilingi' masyarakat. 

Peti milik Ir. Soekarno

Peti Dr. Drs. H. Mohammad Hatta

Tak jauh dari peti jenazah, ada sebuah nisan milik pendiri STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen–Sekolah Kedokteran) yang terkenal akan keberanian dan kepintarannya, Dr. H. F. Roll. Sekolah kedokteran ini didirikan karena kekhawatiran akan kurangnya tenaga kesehatan di Batavia. STOVIA kini telah berganti nama menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
(FKUI).



Sebuah pepatah latin yang terpahat di nisan Dr. H. F. Roll dan Frits Roll: "Conscia mens recti famae mendacia ridet" (The mind conscious of integrity, scorns the lies of rumor), yang berarti bahwa akal/pikiran yang berbobot akan mengubur jauh segala kebohongan dan kepalsuan. 

Dari nisan Dr. H. F. Roll, kita berjalan sedikit ke dalam pekarangan. Dekat nisan Dr. H. F. Roll, terdapat nisan abu besar, sedikit berbeda dengan bentuk nisan lainnya, di atasnya terukir tulisan 'Kapten Jas'. Konon, nisan ini adalah nisan yang dianggap sakral oleh warga Batavia pada zamannya. Mengapa? Mari kita telusuri kisahnya.

                                                                     KAPTEN JAS


'Makam' Kapten Jas

Kapten Jas, seorang tokoh yang tidak pernah hidup dan karenanya juga tidak pernah mati, merupakan sosok yang sangat dihormati sejak dulu hingga kini. Jika tiada pernah ada dan fiktif belaka, mengapa makam 'Kapten Jas' ini dikategorikan sebagai makam yang sakral di Museum Taman Prasasti?

Translation: Vader Jas. Always our great council to all lord.

Untuk menjawab pertanyaan berikut, kita perlu menilik kisah yang dibawakan oleh H.D.H Bosboom, seorang anggota Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Royal Batavian Society of Arts and Sciences). Kisah tersebut berawal dengan disebutnya Gereja Portugis sebagai Jassen-kerk atau Gereja Jassen. Kata 'Jassen' sendiri bermula karena banyaknya pedagang kayu yang tinggal di sekitar gereja ini, mereka sering mengimpor kayu dari wilayah Ciasem, Jawa Barat. Kayu yang mereka impor biasa disebut Jassemsche Balken yang berarti 'balok dari Ciasem'. Kayu tersebut disimpan dekat jembatan yang tak jauh dari Gereja Jassen. Maka dari itu, jembatan tersebut dinamakan Jassembrug.



Pada tahun 1734 keadaan Batavia sangat tidak sehat karena banyak pendatang dari luar yang terlalu lelah berlayar, jatuh sakit, lalu meninggal dunia. Hal ini menuntut diperluasnya tanah pekuburan yang dulu berada di sebelah timur Jembatan Jassen hingga melebihi tanah Gereja Jessen. Dengan begitu, maka halaman Gereja Jassen resmi telah menjadi areal pemakaman yang sering disebut 'Tanah Kapten Jas', yang mengawali munculnya pepatah naar het land van Kapitein Jas gaan (to go to Captain Jas' land) atau secara harfiah berarti pergi ke tanah Kapten Jas. Pepatah ini bermakna pergi dimakamkan namun dalam konteks yang lebih halus. 
Tahun 1800, pemakaman di 'Gereja Jassen' dipindahkan ke wilayah Tanah Abang. 'Kapten Jas' dan seluruh nisan disana ikut pindah. Sejak 1828, 'kuburan'-nya dikatan berada di bawah sebatang pohon besar, yang hingga kini dijadikan orang sebagai tempat untuk bersembahyang dan meletakkan sesajen. 
Kesimpulannya, nama 'Kapten Jas' merupakan sesuatu yang sakral karena namanya yang merepresentasikan tempat peristirahatan dan destinasi akhir tiap-tiap individu yang bernyawa di Batavia pada zaman dahulu. 

Walau begitu, ada pula dua versi lain dari kisah awal-mula 'Kapten Jas', yang pertama mengatakan bahwa nama 'Jas' berasal dari nama Portugis 'Diaz', yang sangat umum dan banyak bermukim di sekitar Jembatan Jassen. Versi kedua yang berasal dari Bloys van Treslong Prins, seorang avonturir (petualang), mengatakan bahwa nama 'Jas' berasal dari nama seorang Jeremias van Riemsdijk (pemilik awal tanah Museum Taman Prasasti) yang menjual sebidang tanah untuk dijadikan pekuburan ketika masih menjabat sebagai kepala pegawai juru tulis. Jeremias yang termahsyur ini dipanggil dengan sebutan 'Kapten Jas', singkatan dari J(eremi)as. 
Versi manapun yang kita percaya, perlu kita akui bahwa naar het land van Kapitein Jas gaan merupakan cara yang indah dan puitis untuk menyebut proses pemakaman. 'Kapitein Jas' telah menjadi sebuah 'tradisi' dari waktu ke waktu. 

SOE HOK GIE

Nobody knows the trouble I see, nobody knows my sorrow.

Nama yang terpahat pada nisan di atas mungkin agak jarang didengar oleh masyarakat awam. Namun, nisan Gie inilah yang membuat saya begitu bersemangat untuk mengunjungi Museum Taman Prasasti. Memang sih, Soe Hok Gie atau yang akrab dipanggil Gie merupakan salah satu sosok yang sangat saya idolakan semenjak duduk di bangku SMP.

Soe Hok Gie

Gie adalah seorang aktivis mahasiswa dari Fakultas Sastra UI yang aktif dalam pergerakan kemahasiswaan, khususnya pada masa orde lama (1945-1966) yang dipimpin oleh Presiden Ir. Soekarno. Gie memiliki persepsi yang sangat kritis terhadap pemerintahan Ir. Soekarno. Ia menganggap banyak sekali praktik KKN yang terjadi pada masa tersebut dan betapa hinanya kaum borjuis pada masa tersebut yang masih dapat berpesta ria tatkala rakyat kesusahan memenuhi kebutuhan primernya. Jika kita lihat secara umum, pandangan Gie ini sangat condong ke arah Marxist. Gie sendiri tidak menentang poin ideology tersebut yang menjunjung tinggi keadilan antara kaum proletar dan borjuis di masyarakat. Hanya saja, Gie kurang suka praktik-praktik yang dilakukan para anggota partai komunis yang kesannya tidak mengindahkan hak individual. Saya suka sekali dengan Gie karena pribadinya yang lurus dan berpendirian kuat. Ia lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan, ujarnya dalam catatan hariannya (telah dibukukan dengan judul 'Catatan Seorang Demonstran'). 

Gie-An Unsung Hero

Walau Gie terkenal aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, dia tidak pernah bergabung ke organisasi mahasiswa seperti KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Gie disebut-sebut sebagai penggerak mahasiswa dalam demonstrasi mahasiswa besar-besaran tahun 1966 yang menuntut pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya (Lekra, dsb), perombakan kabinet, dan turunnya harga pangan (Tritura-Tri Tuntutan Rakyat).  Pada demonstrasi tersebut, seorang mahasiswa dari fakultas kedokteran UI yang bernama Arief Rahman Hakim wafat. Namanya dijadikan nama sebuah resimen yang diketuai Fahmi Idris pada tahun 1966 dan beberapa ruas jalan di berbagai kota.

(Dari kiri ke kanan): Idhan D. Lubis, Herman Lantang, dan Soe Hok Gie

Selain hobi berorganisasi, Gie juga hobi mendaki gunung. Ia dan beberapa kawannya mempelopori kelompok pecinta alam di Universitas Indonesia, Mahasiswa Pecinta Alam Prajnaparamita Fakultas Sastra UI, yang merupakan cikal bakal dari organisasi Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) yang kini banyak diterapkan di berbagai SMA/perguruan tinggi. Bung Gie inilah yang telah meracuni saya dengan sajak-sajak indahnya tentang Lembah Mandalawangi di Gunung Pangrango yang membuat saya gila mendaki gunung dan main di hutan. Gie seringkali mendaki bersama dua kawannya, Idhan Dhanvantari Lubis dan Herman Onesimus Lantang. 



Gie wafat pada tanggal 16 Desember 1969, tepat satu hari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 tahun. Kala itu, Gie dan beberapa kawannya sedang dalam pendakian menuju Puncak Mahameru, puncak tertinggi Pulau Jawa. Gie wafat karena menghirup asap berbahaya dari Kawah Jonggring Saloko yang berada di puncak Gunung Semeru. Di puncak, Gie wafat bersama sahabat karibnya, Idhan Dhanvantari Lubis. Awalnya, Gie dimakamkan di Kuburan Tanah Abang (Kober-kini Museum Taman Prasasti). Namun, keluarga Gie memutuskan untuk mengkremasi jasad Gie, kemudian menyebar abunya di tempat kesukaan Gie, Lembah Mandalawangi. Kini jasad Gie telah menyatu dengan alam dan segala isinya. Gie tidak pantas mati di tempat tidur dan dia memang tidak. Sosok Soe Hok Gie merupakan sebuah inspirasi untuk seluruh masyarakat, khususnya generasi muda zaman kini.

Selanjutnya, akan dibahas mengenai nisan milik Olivia Raffles, nisan misterius yang terduga anggota Freemasonry, nisan J.A. Van Braam, dan masih banyak lagi. (Part 2).




























































































Comments

Popular posts from this blog

Back to Batavia : Menyusuri Masa Lalu Ibukota

Back to Batavia : Nisan Berjuta Cerita (Part 2)