Back to Batavia : Nisan Berjuta Cerita (Part 2)
Laman ini merupakan seri Back to Batavia lanjutan dari Nisan Berjuta Cerita Part 1
Semakin
dalam menyusuri museum ini, kita akan segera menyadari bahwa museum ini
berlokasi benar-benar tepat di samping kantor walikota Jakarta Pusat. Antara
museum dan kantor walikota hanya dibatasi pagar bercat hijau tua. Di Museum
Taman Prasasti, sisi pagar sekalipun menyimpan pesonanya tersendiri. Tepat di
samping pagar pembatas museum, terdapat sebuah nisan makam besar yang nampaknya
agak 'spesial' dibanding nisan lainnya. Nisan yang berpagar kurang lebih satu
meter ini adalah milik Olivia Raffles, yang tak lain dan tak bukan ialah istri
dari mantan gubernur jenderal Batavia, Sir Thomas Stamford Raffles.
![]() |
Source: History Delocalized |
![]() |
Nisan milik Olivia Raffles |
Olivia
Mariamne Devenish atau yang dikenal dengan nama Olivia Raffles, wafat pada
tanggal 26 November 1814 di Buitenzorg (Bogor) karena penyakit malaria. Olivia
Raffles merupakan wanita yang sangat dicintai oleh Thomas St. Raffles. Di
nisannya bertuliskan:
Sacred to the memory of Olivia Mariamne wife of the Hon'abe
Thomas Stamford Raffles, Lieutenant-Governor of Java and its dependencies who
departed this life at Buitenzorg, the 25th of the November 1814, aged 43 years
Untuk
mengenang Olivia Mariamne, istri Thomas Stamford Raffles yang terhormat,
Letnan-gubernur Jawa dan negeri-negeri yang tergantung padanya. Ia meninggal
dunia di Buitenzorg (Bogor), pada tanggal 25 November 1814, dalam usia 43
tahun
![]() |
Lady Olivia |
Olivia Raffles merupakan seorang first lady yang
sangat hebat. Ia banyak membantu karier suaminya selama menjadi gubernur
jenderal di Batavia. Olivia Raffles juga aktif di pergerakan sosial, dia
membuat wanita-wanita Eropa bersosialisasi dengan masyarakat setempat dengan
menggelar perjamuan yang mengundang orang dari berbagai bangsa. Selain itu, ia
juga senang mengenalkan budaya Indonesia kepada teman-teman wanitanya di Eropa.
Sebagai bentuk cintanya yang tulus,
Raffles
mendirikan sebuah monument untuk mengenang istri tercintanya di Kebun Raya
Bogor. Monumen ini seringkali dianggap makam Olivia Raffles oleh masyarakat
awam. Padahal, Olivia Raffles dimakamkan tepat dibawah nisan ini, di samping
kanan sahabat karib Thomas St. Raffles, John Casper Leyden.
Dr. John Casper Leyden, yang dimakamkan tepat di
sebelah kiri makam Olivia Mariamne Devinish, adalah seorang peneliti yang
dikategorikan sebagai seorang 'orientalis'. Orientalis ditujukan untuk orang barat
yang mempelajari atau mengkaji budaya timur. John Leyden disebut sebagai
seorang orientalis karena salah satu karyanya, "Malay Annals", yang
diterjemahkan dari Bahasa Melayu dengan judul asli Sulalatu'l-Salatin (Penurunan segala
raja-raja).
Buku yang diterjemahkan kedalam Bahasa Inggris oleh Leyden merupakan hasil
suntingan dari Raffles dalam Bahasa Melayu
![]() |
Malay Annals. Translated version of Sulalatu'l-Salatin by Dr. Leyden |
![]() |
Sulalatu'l Salatin (authentic manuscript) |
Prof. John
Casper Leyden merupakan penasihat untuk Raffles dalam urusan mengenai soal-soal
Melayu. Syair yang terpahat pada nisan Prof. John Leyden merupakan karangan
dari Walter Scott yang dipilih oleh Raffles.
Sacred
To the memory of
JOHN CASPER LEYDEN M.D.
Who was born
AT TEVIOTDALE IN
SCOTLAND
And who died
In the prime of
life
AT MOLENVLIET NEAR
BATAVIA
On the 28th August 1811
Two days
AFTER THE FALL OF
CORNELIS
Untuk mengenang John Casper Leyden M.D. yang lahir di
Teviotdale, Skotlandia dan wafat pada puncak kejayaannya di Molenvliet (kini
Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk) dekat kota Batavia, pada tanggal
28 Agustus 1811. Dua hari setelah jatuhnya (Meester) Cornelis.
THE POETICAL TALENTS AND
SUPERIOR LITERARY
Attainment of DR. LEYDEN rendered him an
ornament of the age in which he lived.
His ardent spirit and insatiable thirst after
knowledge was perhaps unequalled
And the friend of science must ever
deplore his untimely fate.
His principles as a men were pure and spotless
and as a friend he was firm and sincere.
Few have passed through this life
with fewer vices or with a greater
prospect of happiness in the next
SEORANG PUITIS DAN AHLI SASTRA
Pencapaian DR. LEYDEN menjadikannya sebuah kenangan
pada masa ia hidup.
Semangat kegigihannya dan keinginan kuatnya akan ilmu
pengetahuan mungkin tiada bandingnya.
Dan seorang kawan dari ilmu pengetahuan, ia pasti
menyayangkan kesetiannya yang cepat berlalu.
Prinsipnya sebagai lelaki sangat bersih dan murni, dan
sebagai kawan ia tabah dan tulus.
Beberapa orang telah berlalu melewati hidup ini
dengan keburukan yang kecil atau harapan besar akan
kebahagiaan di kehidupan berikutnya
Betapa banyak keindahan aksara yang menggambarkan kejayaan
dan pencapaian-pencapaian hebat seseorang yang terpahat pada batu-batu nisan di
museum yang dahulunya kerkhof ini. Namun, layaknya pribahasa "tak
ada gading yang tak retak", museum ini juga menyimpan sebuah monument
putih dengan tengkorak di atasnya yang berasal dari salah satu sejarah terkelam
Batavia, Pieter Erberveld dan Monumen Kulit Pecah.
Siapakah sebenarnya Pieter Erberveld ini?
Menurut sejarah, Pieter Erberveld merupakan putra dari
seorang Jerman dan seorang wanita dari Muang Thai (Thailand). Pieter berasal
dari keluarga yang cukup mapan karena ayahnya adalah seorang kaya raya di kota
Elberfeld, Jerman. Di Batavia, Pieter mendapat warisan tanah yang cukup luas
dari ayahnya dan cukup dihormati oleh masyarakat sekitar. Ia juga ramah dan
berhubungan dekat dengan masyarakat setempat.
Sayang, tanah yang diwariskan oleh ayah Pieter tidak
memiliki dokumen yang lengkap sehingga membuat VOC merasa berhak atas tanah
luas yang dimiliki Pieter. Merasa tersakiti, Pieter dan kawannya, Raden
Kartadria yang seorang Sunda, merencanakan pemberontakan besar, pembunuhan massal
seluruh Belanda di Batavia pada pesta malam tahun baru 1722 atau pada perayaan
imlek.
Tiga hari sebelum pembunuhan massal dilancarkan, Pieter dan
beberapa orang yang akan turut andil dalam pemberontakan tersebut mengadakan
rapat di rumah Pieter. Nahas, mereka tertangkap basah dan langsung dihadapkan
pada pengadilan luar-biasa, mereka disiksa sampai mengaku lalu dihukum
mati.
Pieter
Erberveld, Raden Kartadria, beserta 17 orang pengikutnya, dieksekusi pada
tanggal 22 April 1722. Mereka dibunuh di lapangan sebelah selatan Benteng
Batavia (dekat Jalan Pangeran Jayakarta) dengan tubuh mereka dicincang dan
jantung dicopot, badan ditarik ke empat penjuru dengan empat kuda sampai pecah
ke empat bagian. Jalan dan kampung di sekitar lapangan tersebut kini disebut Kampung
Pecah Kulit. Meski sudah dieksekusi mati, banyak orang Batavia
yang berpandangan bahwa eksekusi ini merupakan akal-akalan petinggi VOC yang
hendak menyingkirkan orang biasa dari tanah mereka untuk kepentingan pribadi.
![]() |
Monumen Pecah Kulit di Jalan Pangeran Jayakarta (Painting by J. C. Rappard) |
![]() |
Replika Monumen Pecah Kulit |
Lantas, apa yang membuat monumen ini begitu 'kelam'?
Bagi yang sudah membaca blog saya mengenai Museum Sejarah
Jakarta, pasti ingat dengan monumen asli dari Monumen Kulit Pecah. Monumen ini
dikatakan begitu 'kelam' karena monument yang diperuntukkan sebagai pengingat
telah meninggalnya seseorang, dibuat delapan hari sebelum orang tersebut wafat,
yakni 14 April 1722. Sebuah kelicikan yang bisa jadi 'hanya' sebuah kesalahan
fatal. Namun, jika begitu adanya, mengapa dibiarkan? Jika memang benar
kesalahan ini disengaja, maka hukuman untuk Erberveld telah diputuskan jauh
sebelum perkara selesai. Ketidakadilan memang lazim pada masa-masa genting di
Hindia.
Setelah menyelami salah sebuah sejarah kelam kota
ini, kini saatnya kita mengenal tokoh yang dikenal akan kebaikan budi,
ketulusan hati, serta kasih sayangnya terhadap sesama. Ia adalah seorang pastor
terkemuka di Batavia, Pastor Henrikus Van der Grinten.
![]() |
Pastor H. Van der Grinten |
DOOR
ARMEN EN RIJKEN
KRIJGSMAN EN BURGER
WEDUWE EN WEES
TER ZALIGER NAGEDACHTENIS VAN DEN
WELEER-HEER
H. VAN DER GRINTEN
PASTOR TE BATAVIA
GEB TE EINDHOVEN DEN 2 NOV 1811
EN ALHIER OVERL DEN 23 JAN 1864
>>IK BEN ALLES VOOR ALLEN GEWORDEN
>>ZIJNE NAGEDACHTENIS ZAL NIET VERGAAN
>>EN ZIJNE NAAM ZAL GENOEMD WORDEN
>>VAN GESLACHT TOT GESLACHT
--------------------------
R. I. P
THROUGH
Poor and Rich
Warrior and Civilian
Widow and Orphan
The blessed memory of the old
H. Van Der Grinten
Pastor at Batavia
Born on 2 November 1811
Died on 23 January 1864
>>I have become everything for everyone
>>His memory will not perish
>>and his name will be mentioned
>>from generation to generation
--------------------
R.I.P
Pastor H.
Van der Grinten ini terkenal sering mengunjungi para pasien militer di Groot
Militare Hospital Weltevreden (sekarang RS. Gatot Subroto). Ia terkenal sebagai
seorang yang sangat penyayang terhadap sekitarnya, di bawah patungnya, terdapat
relief yang menggambarkannya selagi hidup di Batavia.
Relief Pastor H. Van der Grinten |
Berikutnya,
ada sebuah batu nisan yang cukup menarik perhatian. Batu nisan ini berukuran
sama dengan batu nisan milik 'Kapten Jas'. Pemiliknya tidak jelas siapa tapi
pada makam tersebut terpahat dua symbol yang menarik bagi saya, Alpha dan
Omega.
Nisan milik seorang 'Schultheiss' |
Secara umum, Alpha dan Omega sebenarnya merupakan huruf
pertama dan terakhir dalam bahasa Yunani (sama seperti huruf A dan Z pada
alphabet), dan bermakna the beginning and the end. Alpha dan Omega
memang memiliki kaitan erat dengan Christianity. Alpha dan Omega bermakna bahwa
Jesus adalah abadi, Ia yang mengawali dan dia pula yang mengakhiri. Ini
terdapat dalam the Book of Revelation (Wahyu kepada Yohanes), dengan frasa
"I am the Alpha and Omega". Hal ini cukup beralasan karena The New
Testament (Perjanjian Baru) awalnya ditulis dalam bahasa Yunani.
Frasa sejenis dengan Alpha dan Omega juga ada di agama
Islam, yaitu al'Awwal (الأول), yang berarti "Yang Pertama" and al'Akhir
(الآخر), yang berarti "Yang Terakhir".
![]() |
Lambang Freemasonry |
Namun, Alpha dan Omega juga
kuat ikatannya dengan organisasi Freemasonry, sebuah organisasi 'persaudaraan'
yang sangat rahasia. Freemasonry ini sering dikaitkan dengan organisasi rahasia
Illuminati padahal mereka tidak berhubungan barang sesuatu apapun walau mungkin
banyak prinsip Freemasonry yang dijadikan dasar-dasar Illuminati.
Secara singkat, Freemasonry
merupakan sebuah organisasi rahasia yang telah aktif sejak akhir abad ke-14.
Member Freemasonry disebut Freemasons atau Masons. Organisasi ini memiliki
banyak peraturan, yakni para anggota harus mengakui adanya Tuhan, tidak boleh
ada anggota wanita, dan melarang segala bentuk pembicaraan mengenai politik dan
agama dalam tiap pertemuan mereka.
Meski dilarang berbicara
mengenai politik, kebanyakan topic diskusi mereka berkaitan dengan
kegiatan-kegiatan politik yang terjadi di dunia dan mereka berencana untuk
membangun sebuah pemerintahan baru dibawah kuasa Freemasonry. Konon, Gedung
Kimia Farma di Jalan Cikini Raya adalah bekas gedung pertemuan para Masons di
Batavia. Freemasonry di Batavia dulu bernama Vrijmetselarij. Lantai gedung
mereka identik dengan warna hitam putih papan catur.
Pada nisan itu terpahat sebuah nama, "A.
Schultheiss". Ketika melakukan pencarian melalui daring, tidak dapat
ditemukan siapa sebenarnya A. Schulteiss ini. Namun, ada sebuah laman Wikipedia
yang mengatakan bahwa 'Schultheiss' atau 'Schultheiß' adalah sebuah
gelar bagi walikota pada abad pertengahan di Jerman. Jerman modern banyak
menggunakan nama Schultheiss sebagai nama belakang dengan modifikasi sedikit
menjadi 'Schultz' atau 'Schulte'.
Entah siapa 'Schultheiss' ini, bisa jadi seorang mantan
walikota atau betul-betul orang yang bernama belakang 'Schultheiss', tidak ada
yang tahu. Tapi sebuah 'Schultheiss' dengan nama depan yang disingkat nampaknya
kurang lazim untuk dipahat pada sebuah batu nisan. Mengapa mempersingkat
identitas diri untuk dipahat pada sebuah batu penghabisan yang umumnya
digunakan sebagai pengenang dan penanda pencapaian hidup seseorang? Atau memang
disengaja? Tak ada yang pernah tahu sebenarnya. Jika kita cermat, nisan
misterius seperti ini banyak terdapat di Museum Taman Prasasti. Maklum,
Freemasonry dan organisasi rahasia lainnya cukup umum pada zaman dahulu.
Nisan J. A. Van Braam |
Di dekat halaman belakang museum ada nisan milik J. A. Van
Braam, bekas pemilik gedung besar yang dibangun pada masa Gubernur-Jenderal
Pieter Gerardus van Overstraten tahun 1796-1804. J. A. van Braam
merupakan pengusaha yang kaya-raya karena dapat memiliki hunian di daerah
Harmoni yang dulu adalah lokasi paling bergengsi di Batavia. Gedung megah itu
kini menjadi Istana Negara RI.
Dirk Anthonius Varkevisser |
Ada pula nisan tinggi yang agak berbeda dengan nisan
lainnya. Nisan tersebut milik Dirk Anthonius Varkevisser, seorang residen di
Pasuruan. Dirk Anthonius Varkevisser
adalah anak dari Dirk Varkevisser, seorang ketua pedagang di O.I.C (Oost
Indische Compagnie). Dirk Anthonius Varkevisser wafat pada usia 56 tahun.
Sebelum menyudahi blog saya
mengenai Museum Taman Prasasti, mari kita melihat beberapa nisan milik
orang-orang penting di Batavia:
Milik keluarga Lindemann |
Dr. Samuel Samson, dokter surgeri di Batavia |
J. S. Wetters, seorang kapten kelahiran Surakarta
sekaligus pemimpin artileri (pasukan bersenjata berat)
|
Milik Catherine Wesselink |
Robert Young |
Lilian, istri dari Lionel Galton Fenzi |
HK=Hollandsche Kerk (nisan pindahan dari Gereja Belanda) |
Lambang kongsi dagang VOC |
Milik Ceasar dan Maria Anderson |
Melihat banyaknya batu nisan
yang berada di Museum Taman Prasasti dapat kita sadari betapa sakralnya tempat
ini. Meskipun kini sudah dirubah menjadi museum, yang diperuntukkan sebagai
sarana edukasi untuk publik, seharusnya tidak mengurangi esensi bahwa tempat
ini, puluhan atau ratusan tahun lalu merupakan sebuah pemakaman. Sayang sekali,
masih banyak pengunjung museum yang tidak memedulikan atau mementingkan sisi
historis tempat ini. Terbukti banyak sekali vandalisme pada beberapa nisan. I mean, come on people!
It's a freaking gravestone!
Sebuah potret memalukan dari para pengunjung museum yang
kebanyakkan warga lokal. Sebagai pengunjung hendaknya kita mengikuti regulasi
atau peraturan yang telah ditetapkan oleh pihak pengelola. Memang, tempat itu
kini bukan lagi sebuah pemakaman karena telah banyak jasad yang dipindahkan
ketika ada perencanaan untuk mengubah tempat ini untuk menjadi cagar budaya.
Tetapi bukan berarti batu nisan yang ditinggalkan hanya penanda untuk
orang-orang mati. Batu nisan di museum ini sebagian besar bermakna penghormatan
(kecuali milik Pieter Erberveld) dan penanda kejayaan seseorang. Hendaknya
sebelum mengunjungi suatu tempat, kita maknai esensi tempat itu terlebih
dahulu. Supaya, tak hanya akan memperoleh ilmu, kita dapat jua memperoleh kesan
istimewa dari tempat tersebut.
Akhirnya, tiba juga kita pada akhir cerita
mengenai nisan di Kerkhof Tua Batavia. Ini adalah seri kedua dari serangkaian
blog Back to Batavia (Seri pertama Part
1 & Part
2). Seperti seri bacaan Back to Batavia
lainnya, konten ini saya tulis untuk menceritakan kembali sebuah kisah dalam
kemasan yang lebih segar. This may not be your typical history blog,
tapi saya harap dapat dimanfaatkan untuk hal yang sama. Seri Back to Batavia
akan terus berlanjut, mengeksplorasi sudut-sudut historis ibukota serta
kisah-kisah menarik didalamnya dengan banyak mengutip referensi dari buku A. Heuken, Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta. Ingat! History isn't just a story, it's a way
too see the future. Let's preserve Indonesia's history and culture, friends!
Ayo jaga budaya dan sejarah Indonesia, teman-teman! Terima kasih telah membaca!
Semoga bermanfaat! Please, don't hesitate to leave some comments..
Comments
Post a Comment