Back to Batavia : Menyusuri Masa Lalu Ibukota
"We are not makers of history, we are made by history." –Martin Luther King, Jr.
Jum'at itu, pukul 07.00 W.I.B, saya memberangkatkan diri ke daerah Kota Tua (Oud Batavia). Saya hendak kembali ke masa lampau, mencari the 'missing diamond', dan menyaksikan bagaimana sesuatu yang pada zamannya bisa sangat berharga, menjadi terbuang.
Mari, saya ajak kawan-kawan mencicipi 'sedikit' kenangan dari masa lampau. Saya janji, tidak akan ada ruginya. Tapi ingat, ini akan jadi perjalanan yang panjang.
Pagi itu, gerimis kecil, dengan perlahan, mencumbui aspal hitam di jalanan ibukota. Suasananya buat saya enggan beranjak dari kasur. Namun, rasa penasaran dan rindu dalam diri saya cukup kuat. Membuat bimbang, hendak pergi atau tetap disini. Saya pejamkan sejenak kedua mata, lalu bangkit dan beranjak dari kasur yang seakan merengek minta 'ditiduri'. Ini once in a lifetime experience. Sekarang, atau tidak sama sekali. Masa lampau, lama- kelamaan akan terkubur oleh zaman. Layaknya serpihan kaca yang ditaruh didalam gudang berdebu. Ada, tetap ada. Tapi kilaunya tiada akan tampak seperti dahulu kala.
Saya dilahirkan di Jakarta, besar di Jakarta, tapi tidak tahu sejarah Jakarta. Kalau itu kasusnya, malu adalah suatu keharusan. Maka dari itu, saya pun memutuskan untuk berangkat.
Saya berangkat dengan menggunakan mode transportasi Busway. Jika kawan-kawan berangkat pada hari kerja, saya sarankan untuk berangkat lebih pagi agar bisa mendapatkan kursi di dalam bus. Kondisi Busway sekarang sudah sangat nyaman dengan dilengkapi pendingin ruangan (AC) yang super dingin. Selain itu, armada yang disediakan juga banyak, jadi kawan semua tidak perlu takut akan ketinggalan bus. System pembayaran ticket busway kini berbentuk e-card atau electronic card. Jika kawan-kawan belum mempunyai kartu, bisa dibeli di ATM, bank-bank terkait, dan loket pada seluruh halte Transjakarta. Tata cara pembelian dan pemakaian e-card bisa dibaca disini.
Jum'at itu, pukul 07.00 W.I.B, saya memberangkatkan diri ke daerah Kota Tua (Oud Batavia). Saya hendak kembali ke masa lampau, mencari the 'missing diamond', dan menyaksikan bagaimana sesuatu yang pada zamannya bisa sangat berharga, menjadi terbuang.
Mari, saya ajak kawan-kawan mencicipi 'sedikit' kenangan dari masa lampau. Saya janji, tidak akan ada ruginya. Tapi ingat, ini akan jadi perjalanan yang panjang.
Pagi itu, gerimis kecil, dengan perlahan, mencumbui aspal hitam di jalanan ibukota. Suasananya buat saya enggan beranjak dari kasur. Namun, rasa penasaran dan rindu dalam diri saya cukup kuat. Membuat bimbang, hendak pergi atau tetap disini. Saya pejamkan sejenak kedua mata, lalu bangkit dan beranjak dari kasur yang seakan merengek minta 'ditiduri'. Ini once in a lifetime experience. Sekarang, atau tidak sama sekali. Masa lampau, lama- kelamaan akan terkubur oleh zaman. Layaknya serpihan kaca yang ditaruh didalam gudang berdebu. Ada, tetap ada. Tapi kilaunya tiada akan tampak seperti dahulu kala.
Saya dilahirkan di Jakarta, besar di Jakarta, tapi tidak tahu sejarah Jakarta. Kalau itu kasusnya, malu adalah suatu keharusan. Maka dari itu, saya pun memutuskan untuk berangkat.
Saya berangkat dengan menggunakan mode transportasi Busway. Jika kawan-kawan berangkat pada hari kerja, saya sarankan untuk berangkat lebih pagi agar bisa mendapatkan kursi di dalam bus. Kondisi Busway sekarang sudah sangat nyaman dengan dilengkapi pendingin ruangan (AC) yang super dingin. Selain itu, armada yang disediakan juga banyak, jadi kawan semua tidak perlu takut akan ketinggalan bus. System pembayaran ticket busway kini berbentuk e-card atau electronic card. Jika kawan-kawan belum mempunyai kartu, bisa dibeli di ATM, bank-bank terkait, dan loket pada seluruh halte Transjakarta. Tata cara pembelian dan pemakaian e-card bisa dibaca disini.
Waktu tempuh Transjakarta relatif singkat. Saya menghabiskan waktu 1 jam 25 menit, dari Ragunan, lewat Semanggi, menuju ke Monas. Untuk pergi ke Kota Tua, saya harus melakukan transit satu kali di Monas, mengganti bus ke jurusan Blok M-Kota. Jika kawan-kawan transit di Monas, bisa mengunjungi Museum Nasional yang berlokasi tepat di sebrang halte busway. Koleksi Museum Nasional cukup lengkap. Termasuk koleksi-koleksi dari abad ke 17-19. Di sini tersimpan salah satu Padrão Perjanjian Sunda-Portugal.
![]() |
Museum Nasional. (Source: www.keliaran.com) |
Museum ini berdiri pada tahun 1778 saat Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschapen dibentuk. Bataviaasch Genootschap sendiri, merupakan sebuah lembaga kesenian dan ilmu pengetahuan dari zaman Belanda. Kalau bahasa Inggris-nya, "Royal Batavian Society of Arts and Sciences".
![]() |
Verhandelingen Van Het Bataviaasch Genootschap |
Gedung A Museum Nasional ditutup dari tanggal 2 Januari–31 Juli (kalau tidak salah). Gedung museum ditutup karena adanya revitalisasi dan perluasan gedung. Sayangnya, Padrão yang hendak saya lihat terletak di gedung A. Karena ditutup, saya pun terpaksa masuk ke gedung B yang terdiri dari 3 lantai. Tidak banyak yang saya lakukan disini, hanya sekadar melihat-lihat, lalu kembali lagi ke halte untuk melanjutkan perjalanan ke Kota Tua.
Sebelumnya, saya hendak bertanya sedikit. Apakah kawan-kawan semua tahu, bahwa nama 'Jakarta' yang kita kenal sekarang ini, (sebenarnya) bukan berasal dari kata 'Jayakarta' yang sering disebut-sebut oleh Fatahillah?
Prof. Dr. Slamet Muljana berpendapat bahwa, tidak pernah ada data konkret apa pun yang menjelaskan perubahan nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Dalam teorinya, ia berkata bahwa kota ini mendapat nama baru dari adipati yang ketiga, Pangeran Jayawikarta. Teori ini juga tidak cocok dengan kenyataan. Karena pada dasarnya, nama Jacatra sudah muncul sejak, kurang lebih, tahun 1560-an. Nama Jacatra sendiri muncul pertama kali dalam buku João de Barros, Da Asia (Xacatara por outro name). Asal-usul Jayakarta juga tidak sepenuhnya salah. Hanya saja, nama Jayakarta, baru digunakan pada tahun 1560-an. Sejak tahun 1532, orang Portugis di Malaka yang berdagang di Banten dan Sunda Kalapa, tetap menggunakan nama lama. Jadi anggapan orang bahwa nama Jayakarta sudah digunakan sejak tahun 1527, adalah sepenuhnya salah.
Secara harfiah, Jayakarta berarti 'kemenangan yang telah dicapai'.
![]() |
L'Isle De La Ville Batavia |
![]() |
Massacre des Chinois |
Wilayah yang menjadi tempat tinggal orang Tionghoa tersebut, kini bernama 'Glodok'. Nama Glodok ini konon berasal dari suara air pancuran di tengah halaman Stadhuis yang berbunyi grojok... grojok... grojok.., rata-rata orang Tionghoa susah melafalkan huruf R. Sehingga kemudian bunyi dari air pancuran tersebut dieja 'Glodok'. Kini, Glodok menjadi pusat perdagangan elektronik terbesar di Indonesia.
![]() |
Glodok |
Sesampainya di Kota Tua, saya bergegas menuju kawasan Taman Fatahillah. Saya berjalan dengan sangat santai sembari membayangkan, kalau gedung-gedung yang berdiri di samping kanan serta kiri saya, dahulunya merupakan bagian penting dari sebuah zaman yang kini terlupakan. Kebanyakkan gedung di Kota Tua sudah diperbaharui dan dirubah. Salah satu yang banyak berubah ialah destinasi utama saya, Museum Sejarah Jakarta.
Museum Sejarah Jakarta dulunya merupakan sebuah Balaikota (Stadhuis) di Batavia. Balaikota ini digunakan untuk berbagai macam keperluan. Di antaranya: mengurus pernikahan, ibadat di hari Minggu, kantor dewan pengadilan, penjara, sampai tempat eksekusi mati yang sering dilakukan di muka gedung. Kini, hampir semua sisa-sisa kejayaan Batavia dari masa lampau, tersimpan rapi di Museum Sejarah Jakarta.
Tiket masuk untuk pelajar, hanya dikenakan biaya sebesar Rp2.000 (dengan menunjukkan kartu pelajar). Tempat pembelian tiket terletak di sebelah kanan muka gedung.
Museum Sejarah Jakarta |
Sudah ada banyak perubahan pada Stadhuis (Museum Sejarah Jakarta sekarang), salah satunya terletak pada bentuk bangunan muka. Dulu, bangunan muka dan jendela tengah berbentuk melengkung. Sekarang, bangunan muka berbentuk segitiga dengan 2 jendela tengah yang berbentuk persegi panjang. Dulu juga, di atas bangunan muka, dipasang sebuah patung wanita pelambang keadilan (Patung Dewi Justitia). Namun, patung ini hilang sekitar tahun 1957. Bisa dibandingkan bentuk sekarang dengan lukisan J.W. Heydt dari tahun 1740:
![]() |
Source: Wikimedia |
![]() |
Jan Pieterszoon Coen |
Terdapat pula lukisan karya S. Sudjojono yang berkisah tentang Penyerangan pasukan Sultan Agung Mataram ke pasukan J.P. Coen di Batavia. Lukisan ini dibagi menjadi 3 bagian. Pada bagian ketiga dapat kita lihat pertemuan Kyai Rangga (Bupati Tegal) dengan J.P. Coen saat melakukan perundingan damai. Pertemuan ini juga dimanfaatkan oleh Kyai Rang untuk memata-matai benteng VOC yang merupakan bagian dari persiapan penyerangan ke Batavia pada tahun 1628.
![]() |
Penyerangan Mataram |
Peta ini menunjukkan bahwa pembangunan di wilayah Batavia dan sekitarnya sudah berkembang. Sedangkan pembangunan di sebelah selatan masih sangat minim. Maka dari itu, pembangunan mulai bergerak ke arah selatan. Harap diingat, wilayah Batavia lama hanya terbentang dari Pasar Ikan hingga wilayah yang sekarang bernama Kota Tua.
![]() |
Source: Wikimedia (Eduard Selberg–1878) |
![]() |
Miniatur Gereja Kubah |
![]() |
Gereja Kubah (Niuwe Hollandsche Kerk) |
![]() |
Penyerangan Keraton Jayakarta (Source: WIX.com) |
![]() |
Pedang 'Keadilan' (Source: guemanusiafoto.blogspot) |
![]() |
Lantai kedua museum (Source: www.skyscrapercity.com) |
![]() |
Sekat ruangan Pallas Athena |
Lemari buku |
Meja di Meeting Hall |
J.J. de Nijs – Lukisan Tiga Peradilan |
Di sebelah kiri lukisan, digambarkan keputusan Raja Cambyses dari Persia yang memerintah agar Sisamnes, seorang hakim korup, tubuhnya dikuliti. Beberapa tahun kemudian, anak Sisamnes duduk sebagai hakim menggantikan ayahnya. Anak Sisamnes duduk di kursi yang dilapisi oleh kulit ayahnya sendiri.
Kemudian, di tengah, terdapat Raja Salomo yang tengah memutuskan suatu perkara dua orang wanita yang mengaku sebagai ibu dari seorang bayi. Ketika mendengar putusan Raja Salomo bahwa ia hendak 'membagikan' bayi tersebut dengan pedang, ibu kandung yang sebenarnya, rela melepaskan anaknya. Dari situ Raja Salomo tahu siapakah ibu asli dari bayi yang diperebutkan.
Dan di pinggir kanan, lukisan terakhir, seorang raja serta penyusun undang-undang dari Yunani, Zaleukos dan Lokri, rela mengorbankan salah satu mata demi mengindahkan hukum yang diundang-undangkannya sendiri. Dengan demikian, sang raja mau menyelamatkan satu mata puteranya yang melanggar hukum dengan berzinah.
Ketiga lukisan ini (sangat) pantas diperbanyak untuk kemudian dipasang di ruang sidang manapun di Indonesia.
Sekian dulu pembahasan mengenai koleksi yang ada di dalam Museum Sejarah Jakarta. Mohon maaf atas data-data yang tidak lengkap maupun akurat. Terima kasih sudah mau membaca!
*Bersambung ke part 2
Sekian dulu pembahasan mengenai koleksi yang ada di dalam Museum Sejarah Jakarta. Mohon maaf atas data-data yang tidak lengkap maupun akurat. Terima kasih sudah mau membaca!
*Bersambung ke part 2
Comments
Post a Comment